TUGAS MAKALAH
TAFSIR-TAFSIR AYAT EKONOMI
“urgensi perdagangan (QS. Ali-imran : 112)”
Di
Susun Oleh: KELOMPOK I
Nama
: RAHAYU BAHAR (0130105011)
DELFIKA MASWAIN
(01301050
Jurusan/kelas
: Ekonomi Syariah/A
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
AMBON
2015
PEMBAHASAN
A.
URGENSI
PERDAGANGAN (QS. Ali-Imran ayat 112 & QS. Al-Maidah ayat 2)
1.
QS. ALI-IMRAN :
122
a.
Bunyi QS.
Ali-Imran :122
Artinya:
Mereka
diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang
kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka
kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang
demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi
tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan
melampaui batas. QS Ali-Imran ayat 11
b.
Tafsiran surah ali-imran ayat 112
Tafsir Ibnu Katsir:
Allah menetapkan kehinaan dan
kerendahan bagi mereka, di manapun mereka berada, sehingga mereka tidak pernah
merasa aman. إِلا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ “Kecuali jika mereka berpegang kepada
tali agama Allah.” Yakni, dengan jaminan perlindungan dari Allah. Jaminan ini
berupa akad perlindungan yang diberlakukan atas mereka. Konsekwensinya, mereka
diharuskan membayar jizyah, serta mengikuti aturan-aturan Islam terhadap
mereka.
وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ “Dan tali
(perjanjian) dengan manusia.” Maksudnya jaminan keamanan dari manusia untuk
mereka. Misalnya terhadap mereka yang memiliki perjanjian perdamaian,
perjanjian kerja sama, atau menjadi tawanan, dengan jaminan keamanan dari salah
seorang kaum muslimin, sekalipun penjamin tersebut hanya seorang muslimah.
Bahkan meskipun penjamin tersebut hanya seorang hamba sahaya, menurut salah
satu dari dua pendapat para ulama.
Mengenai firman Allah إِلا
بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ “Kecuali jika mereka berpegan pada
tali (Agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia.” Ibnu Abbas berkata:
“Maksudnya adalah perjanjian dengan Allah dan perjanjian dengan manusia.”
Demikian juga pendapat Mujahid, ‘Ikrimah, ‘Atha’, Adh-Dhahhak, As-Suddi dan
ar-Rabi’ bin Anas.
Firman Allah وَبَاءُوا بِغَضَبٍ
مِنَ اللَّهِ “Dan mereka mendapat kemurkaan dari Allah.” Maksudnya mereka pasti
mendapat murka dari Allah dan mereka memang berhak mendapatkannya.
وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ
الْمَسْكَنَةُ “Dan mereka diliputi kehinaan” Maksudnya, ditetapkan bagi mereka
kehinaan baik dilihat dari sisi takdir Allah maupun dilihat dari sisi syari’at.
Karena itulah, Allah berfirman:
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ
الأنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ “Yang demikian itu karena mereka kafir kepada
ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi tanpa alasan yang benar.” Artinnya, yang
mendorong mereka melakukan hal tersebut adalah kesombongan, pembangkangan dan
kedengkian. Karena itulah mereka mendapat kehinaan, celaan dan kerendahan untuk
selama-lamanya hingga kehinaan di akhirat.
Kemudian Allah berfirman,
ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ “Yang demikian itu disebabkan mereka
durhaka dan melampaui batas.” Artinya, yang menyebabkan mereka kufur terhadap
ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi Allah adalah karena mereka banyak mendurhakai
perintah Allah, gemar berbuat maksiat kepada Allah dan melanggar syari’at-Nya.
Semoga Allah melindungi kita dari perbuatan yang seperti itu. Hanya kepada
Allah kita mohon pertolongan.
Tafsir As-Sa’di :
Ini merupakan kabar dari Allah
bahwa kaum Yahudi itu diliputi oleh kehinaan sehingga mereka selalu takut di
manapun mereka berada, tidak ada yang dapat menenangkan mereka kecuali
perjanjian damai dan suatu sebab yang bisa membuat mereka tenang, mereka tunduk
di bawah hukum-hukum Islam dan mereka membayar jizyah.
Atau dengan tali perjanjjian مِنَ
النَّاسِ “Dengan manusia” maksudnya, apabila mereka di bawah kekuasaan selain
mereka dan pengawasan bangsa lain, sebagaimana telah terlihat dari kondisi
mereka dahulu maupun yang akan datang, di mana mereka pada masa terakhir ini
tidak mampu menguasai secara temporal di Palestina kecuali dengan bantuan
Negara-negara kuat dan penyediaan prasarana mereka untuk mereka dalam segala
hal.
وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّه
“Dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah.” Maksudnya, sungguh Allah
murka atas mereka dan menghukum mereka dengan kahinaan dan kerendahan.
Sebab-sebabnya adalah kekufuran mereka terhadap ayat-ayat Allah dan pembunuhan
terhadap para Nabi بِغَيْرِ حَقٍّ “tanpa alasan yang benar” maksudnya hal itu tidaklah
atas dasar kebodohan, akan tetapi atas dasar kesewenang-wenangan dan
kedurhakaan.
Hukuman yang bermacam-macam yang
menimpa mereka, بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ “disebabkan mereka durhaka
dan melampaui batas.” Allah tidak menzhalimi mereka dan menyiksa mereka tanpa
adanya dosa, akan tetapi yang Allah timpakan atas mereka disebabkan oleh
kesewenang-wenangan, permusuhan, kekufuran, pendustaan, dan kejahatan mereka
yang besar itu.
c.
Makna mufradat surah ali-imran ayat
112
1.
وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ dan mereka
kembali mendapat kemurkaan dari Allah وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ dan
mereka diliputi kerendahan.
Akibat selanjutnya dari melanggar
janji dengan Allah dan janji dengan sesama manusia adalah kemurkaan dari Allah
dan kerendahan derajat. Kemurkaan Allah mendatangkan siksa, kerendahan derajat
menimbulkan kehilangan kekuasaan. Secara historis banyak buktinya kaum yahudi
yang murka dari Allah diakibatkan oleh melanggar janji. Pada jaman Nabi Musa
mereka pernah terkatung-katung di padang Tieh, akibat melanggar perjanjian
dengan Nabi Musa. Ketika kaum yahudi mengadakan perjanjian dengan kaum muslimin
yang dikenal piagam Madinah, mereka mendapat keamanan. Namun ternyata kaum
yahudi seperti Bani Quraidlah, Bani Nazhir melanggar perjanjian, maka murka
Allah menimpa mereka. Akhirnya terusir dari Madinah. Di abad kedua puluh pun,
kaum yahudi sering mengadakan perjanjian kaum Palestina ataupun bangsa lain.
Namun mereka sering melanggar janji. Akibatnya, kaum yahudi di seantero dunia,
hidupnya selalu merasa terancam, kehilangan ketenteraman.
2.
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا
يَكْفُرُونَ بِآَيَاتِ اللَّهِ Yang demikian itu karena mereka kafir kepada
ayat-ayat Allah
Penyebab berikutnya mengapa, kaum
yahudi dimurkai Allah, adalah karena kufur pada ayat-ayat-Nta. Ayat yang mereka
kufuri cukup banyak, antara lain ayat qishash, ayat hukuman zina, serta ayat
kerasulan Nabi Muhammad SAW. Kemurkaan Allah terhadap yahudi, diungkapkan di
sini, agar kaum muslimin jangan menyangka bahwa orang yang bergelimang harta,
atau mempunyai kedudukan sementara di dunia itu sebagai orang yang diridoi
Allah.
3.
وَيَقْتُلُونَ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ dan
membunuh para nabi tanpa alasan yang benar.
Mereka juga membunuh para nabi,
seperti Zakariya, Yahya, dan berusaha mau membunuh Nabi Isa. Pada zaman rasul,
juga ada kaum yahudi yang cukup ganas berusaha mau membunuh Nabi SAW. Kelompok
yang keras terhadap Rasul SAW utamanya adalah bani Quraidlah, dan kelompok Ka’b
bin al-Asyraf serta Huyay bin al-Akhthab. Namun mereka tidak berhasil membunuh
Rasul SAW. Kemudian kaum yahudi berusaha membunuh para tokoh muslim. Tidak
segan-segan kaum yahudi membuat dalil dalam kitabnya agar bisa menghalalkan
tindakan sewenang-wenag terhadap kaum muslimin. Contohnya adalah menanam
kebencian, serta mayakinkan pengikutnya untuk menganggap kaum muslimin sebagai
ghayim, mereka anggap halal darahnya. Tegasnya usaha kaum yahudi untuk
menanamkan kebencian terhadap muslim tidak pernah pudar. Itulah salah satu
faktor yang menyebabkan Allah SWT murka terhadap kaum yahudi.
4.
لِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا
يَعْتَدُونَYang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui
batas..
Tindakan yang dilakukan mereka
termasuk bagian dari bukti kedurhakaan dan berlaku sewenang-wenang, yang
melampauai batas. Sering muncul pertanyaan; kalau Allah murka terhadap yahudi,
mengapa mereka masih diberi kesempatan untuk bercokol di dunia? Mengapa
terkadang kelihatannya mereka itu tetap mempunyai kejayaan? Pertanyaan semacam
ini muncul, karena sementara orang beranggapan bahwa keberhasilan dan
ketenangan dunia itu hanya dilihat dari sudut materi. Sebenarnya kekayaan atau
kekuasaan mereka di dunia, tidak menjamin mereka mendapat kebahagiaan dan
ketenteraman. Sebabkedua adalah, Allah SWT tidak menghukum orang kafir pasca
Rasul SAW diutus secara langsung seperti pada umat terdahulu. Allah SWT
menghukum orang kafir pasaca diutus Rasul SAW adalah dengan tangan kaum mu`min.
Allah SWT berfirman: قَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ بِأَيْدِيكُمْ
وَيُخْزِهِمْ وَيَنْصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ
Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan
(perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong
kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman,Qs.9:14
Ayat ini menegaskan bahwa jika
kaum mu`minin ingin meraih kemenangan harus berani berperang melawan kaum
yahudi yang memerangi mu`min. Allah SWT mengadzab kedurhakaan yahudi adalah
dengan tangan kaum mu`minin dalam perang. Dengan kata lain, jika mu`min terus
menerus mengalah menghadapi kaum yahudi, maka mereka akan tetap bisa bercokol
dan berbuat sewenang-wenang.
2.
QS. AL-MAIDAH : 2
a.
Bunyi QS. Al-Maidah : 2
يا أَيُّهَا
الَّذينَ آمَنُوا لا تُحِلُّوا شَعائِرَ اللَّهِ وَ لاَ الشَّهْرَ الْحَرامَ وَ
لاَ الْهَدْيَ وَ لاَ الْقَلائِدَ وَ لاَ آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرامَ يَبْتَغُونَ
فَضْلاً مِنْ رَبِّهِمْ وَ رِضْواناً وَ إِذا حَلَلْتُمْ فَاصْطادُوا وَ لا
يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرامِ أَنْ
تَعْتَدُوا وَ تَعاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَ التَّقْوى وَ لا تَعاوَنُوا عَلَى
الْإِثْمِ وَ الْعُدْوانِ وَ اتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَديدُ الْعِقابِ (2)
Hai orang- orang yang beriman,
janganlah kamu melanggar syi`ar- syiar Allah, dan jangan melanggar kehormatan
bulan- bulan haram, jangan ( mengganggu ) binatang- binatang had-ya, dan
binatang- binatang qalaa-id, dan jangan( pula )mengganggu orang- orang
yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridaan dari
Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah
berburu. Dan janganlah sekali- kali kebencian ( mu ) kepada sesuatu kaum karena
mereka menghalang- halangi kamu dari Masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya
( kepada mereka ). Dan tolong- menolonglah kamu dalam ( mengerjakan ) kebaikan
dan takwa, dan jangan tolong- menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.(2)
b.
Tafsiran surah al-maidah ayat 2
Tafsir Ibnu Katsir, Ayat 2:
Perintah
menghormati tanah haram dan bulan haram
Firman Allah,”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar
syi’ar-syi’ar Allah.” Menurut Ibnu ‘Abbas, maksud dari syi’ar-syi’ar
Allah adalah manasik haji (serangkaian kegiatan dalam ibadah haji). Mujahid
mengatakan bahwa Shafa dan Marwa, Hadyu dan kurban, semuanya termasuk
syi’ar-syi’ar Allah.[Ath-Thabari IX/463]
Ada yang berpendapat bahwa
syi’ar-syi’ar Allah ialah segala hal yang diharamkan-Nya, yakni janganlah
kalian menghalalkan berbagai keharaman yang telah diharamkan Allah. Karena itu,
Dia berfirman, “Dan jangan (pula) melanggar kehormatan bulan-bulan Haram.”
Maksudnya, Allah memerintahkan untuk menghormati bulan-bulan haram dan
mengakuinya. Caranya adalah dengan memuliakannya dan meninggalkan segala yang
dilarang Allah di dalamnya berupa peperangan. Juga dengan cara
bersungguh-sungguh menjauhi hal-hal yang diharamkan Allah. Sebagaimana firman
Allah :
Mereka bertanya tentang
berperang pada bulan Haram. Katakanlah, Berperang dalam bulan itu adalah dosa
besar (Al-Baqarah:217)
Sesungguhnya bilangan bulan
pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan
langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang
lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu
(At-Taubah:36)
Dalam Shahiih al-Bukhari dari Abu
Bakrah bahwa Rasulullah S.A.W bersabda dalam haji wada’ :Sesunggunnya zaman itu
berputar seperti keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun
ada dua belas bulan, diantaranya empat bulan yang dihormati. Tiga
berturut-turut, (yakni) Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, serta Rajab (yang
sangat diagungkan oleh kabilah) Mudhar yang terletak antara Jumadal Akhir dan
Sya’ban [Fathul Baari X/10]. [Al Bukhari no.3197, diriwayatkan juga oleh Muslim
no. 1679]
Hal ini menunjukkan
keberlangsungan keharamannya hingga akhir masa.
MEMPERSEMBAHKAN HADYU
KEPADA BAI-TULLAH
Firman-Nya , “ Jangan
(mengganggu) binatang-binatang had-yu, dan binatang-binatang qalaa-id“.
Yakni jangan sampai meninggalkan persembahan hadyu kepada baitullah al-Haram.
Karena termasuk pengagungan terhadap syi’ar-syi’ar Allah. Dan ikatlah binatang
hadyu itu pada lehernya untuk membedakannya dengan binatang-binatang ternak
lainnya. Binatang tersebut hendaklah diberi tanda agar diketahui bahwa ia
adalah hadyu untuk Ka’bah. Dengan demikian, orang yang berniat buruk dapat
menghindarinya. Sedangkan orang yang melihatnya akan terdorong untuk melakukan
hal yang sama (yakni membawa binatang hadyu ke Ka’bah). Siapa yang menyeru
kepada petunjuk, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang
mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.
Muqatil bin Hayyan mengatakan,
firman-Nya, “dan binatang-binatang qalaa-id“. Yakni janganlah kalian
menganggapnya halal. Dahulu, masyarakat jahiliyah ketika keluar dari tanah air
mereka di luar bulan-bulan haram, mereka mengikat diri mereka dengan rambut dan
bulu.
DIHARAMKAN MENGGANGGU ORANG-ORANG
YANG MENUJU BAITUL HARAM
Firman-Nya, “ Dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi
Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridaan dari Rabbnya“. Yakni,
jangan mengganggap halal memerangi orang-orang yang sedang menuju ke Baitullah
al-Haram, yang barangsiapa memasukinya maka amanlah ia. Begitu pula terhadap
orang yang menuju ke Baitullah untuk mencari karunia Allah dan menginginkan
ridha-Nya, janganlah kalian menghalangi dan menggangunya.
Dan Firman-Nya, “Dan
keridhaan-Nya.” Ibnu ‘Abbas r.a mengatakan, “Mereka mencari keridhaan
Allah dengan haji mereka. ‘Ikrimah, as-Suddi dan Ibnu Jarir menyebutkan
bahwa ayat ini turun mengenai al-Hutham bin Hind al-Bakri. Ia pernah menyerbu
peternakan Madinah (dan membawanya pergi). Pada tahun depannya, ia
berumrah ke Baitullah, maka sebagian sahabat hendak menghalangi jalannya menuju
ke Baitullah, maka Allah menurunkan firman-Nya, “Dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia
dan keridaan dari Rabbnya“.
DIBOLEHKAN BERBURU SETELAH
TAHALLUL DARI IHRAM
FirmanNya,”Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka
berburulah.” Yakni, jika kalian telah selesai dari ihram kalian atau
tahallul darinya, maka Kami membolehkan kalian untuk berburu, padahal pada saat
berihram hal itu diharamkan atas kalian.
ADIL DALAM SEGALA KEADAAN
FirmanNya, “ Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum
karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorongmu berbuat
aniaya (kepada mereka)”. Artinya jelas, yakni janganlah kebencian terhadap
sebagian dari suatu kaum yang dulu pernah menghalangi kalian untuk sampai ke
Masjidil Haram, yaitu pada tahun Hudaibiyah, mendorong kalian untuk melanggar
hukum Allah berkenaan dengan mereka, lantas kalian membalas mereka secara zalim
dan aniaya.
FirmanNya,”Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran“. Allah memerintahkan
para hamba-Nya yang beriman agar saling tolong menolong dalam melakukan
berbagai kebajikan. Dan itulah yang dimaksud dengan kata al-birr
(kebaktian). Dan tolong menolonglah kalian dalam meninggalkan berbagai
kemungkaran. Dan inilah yang dimaksud dengan takwa (dalam arti sempit, yakni
menjaga untuk tidak melakukan kemungkaran).
4. “Mereka menanyakan kepadamu:
“Apakah yang dihalalkan bagi mereka?”. Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang
baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang Telah kamu ajar
dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang Telah
diajarkan Allah kepadamu[1]. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya
untukmu[2], dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu
melepaskannya)[3]. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat cepat
hisab-Nya.”
(al-Maa’idah: 4)
[1] Maksudnya: binatang buas itu
dilatih menurut kepandaian yang diperolehnya dari pengalaman; pikiran manusia
dan ilham dari Allah tentang melatih binatang buas dan cara berburu.
[2] yaitu: buruan yang ditangkap binatang buas semata-mata untukmu dan tidak
dimakan sedikitpun oleh binatang itu.
[3] Maksudnya: di waktu melepaskan binatang buas itu disebut nama Allah sebagai
ganti binatang buruan itu sendiri menyebutkan waktu menerkam buruan.
Diriwayatkan oleh ath-Thabarani,
al-Hakim, al-Baihaqi, dan lain-lain, yang bersumber dari Abu Rafi’ bahwa Jibril
datang kepada Nabi saw. dan meminta izin untuk masuk. Nabi saw.
mempersilakannya. Namun Jibril tidak segera masuk, sehingga beliau pergi keluar
menyambutnya. Ternyata Jibril sedang berdiri di pintu. Jibril berkata: “Saya
telah meminta izin kepada tuan.” Rasulullah membenarkannya. Lalu Jibril
berkata: “Akan tetapi kami tidak mau masuk rumah yang ada gambar dan anjing.”
Berkenaan dengan peristiwa itu, Rasulullah saw. mendapat laporan bahwa di
sebagian rumah para shahabat terdapat anjing. Setelah itu Rasulullah
memerintahkan Abu Rafi’ untuk tidak membiarkan seekor anjing pun hidup di
Madinah. Para shahabat datang kepada Rasulullah saw. dan bertanya: “Apa yang
halal bagi kami dari hewan-hewan yang engkau perintahkan membunuhnya.” Maka
turunlah ayat ini (an-Maa-idah: 4) yang menerangkan bahwa yang halal itu adalah
yang baik.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang
bersumber dari ‘Ikrimah bahwa Rasulullah saw. mengutus Abu Rafi’ untuk membunuh
semua anjing, sampai ke kampung-kampung. Maka datanglah ‘Ashim bin ‘Adi, Sa’d
bin Hatsamah, dan ‘Uwaimir bin Sa’idah menghadap Rasulullah saw. dan bertanya:
“Apa yang dihalalkan bagi kami?” Maka turunlah ayat ini (al-Maa-idah: 4)
sebagai jawabannya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari
Muhammad bin Ka’b al-Qurazhi bahwa Rasulullah memerintahkan membunuh
anjing-anjing. Para shahabat bertanya: “Yaa Rasulallah, apa yang halal bagi
kami dari hewan ini?” Maka turunlah ayat ini (al-Maa-dah: 4) sebagai
jawabannya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari
asy-Syu’bi yang bersumber dari ‘Adi bin Hatim ath-Tha-iy bahwa seorang
laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw. tentang hukum berburu dengan anjing.
Rasulullah tidak mengetahui bagaimana harus menjawabnya. Maka turunlah ayat ini
(al-Maa-idah: 4) yang menetapkan hukum berburu dengan hewan yang telah diajari
berburu.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim
yang bersumber dari Sa’id bin Jubair bahwa ‘Adi bin Hatim ath-Tha-iy dan Zaid bin
al-Muhalhal ath-Tha-iy bertanya kepada Rasulullah saw.: “Kami tukang berburu
dengan anjing, dan anjing suku Dzarih pandai berburu sapi, keledai, dan kijang.
Sedang Allah telah mengharamkan bangkai. Apa yang halal bagi kami dari hasil
buruan itu?” Maka turunlah ayat ini (al-Maa-idah: 4) yang menegaskan hukum
hasil buruan.
6. “Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua
mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit[1] atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[2]
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah
yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak
hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
(al-Maa’idah: 6)
[1] Maksudnya: sakit yang tidak
boleh kena air.
[2] artinya: menyentuh. menurut Jumhur ialah: menyentuh sedang sebagian
Mufassirin ialah: menyetubuhi.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari
‘Amr bin al-Harits, dari ‘Abdurrahman bin al-Qasim, dari bapaknya, yang
bersumber dari ‘Aisyah bahwa kalung Siti ‘Aisyah jatuh dan hilang di suatu
lapangan dekat kota Madinah. Rasulullah saw. memberhentikan untanya, lalu turun
untuk mencarinya. Kemudian beliau beristirahat hingga tertidur di pangkuan Siti
‘Aisyah. Tiada lama kemudian datanglah Abu Bakr menampar Siti ‘Aisyah
sekerasnya seraya berkata: “Kamulah yang menahan orang-orang karena sebuah
kalung!” Nabi saw. terbangun dan tibalah waktu shubuh. Beliau mencari air tapi
tidak mendapatkannya. Maka turunlah ayat ini (al-Maa-idah: 6). Berkatalah Usaid
bin Mudlair: “Allah telah memberikan berkah kepada manusia dengan sebab
keluarga Abu Bakr.” Ayat tersebut mewajibkan berwudlu atau bertayamum sebelum
shalat.
Diriwayatkan oleh ath-Thabarani
dari ‘Abbad bin ‘Abdillah bin Zubair yang bersumber dari ‘Aisyah bahwa setelah
terjadi peristiwa hilangnya kalung ‘Aisyah yang menimbulkan fitnah besar, pada
suatu ketika, dalam suatu peperangan bersama Rasulullah saw., kalung ‘Aisyah
jatuh lagi. Orang-orangpun terhalang pulang karena perlu mencari kalung yang
hilang itu. Berkatalah Abu Bakr kepada ‘Aisyah: “Wahai anakku, tiap-tiap
perjalanan engkau selalu menjadi bala dan menjengkelkan orang lain.” Maka Allah
menurunkan ayat ini (al-Maa-idah: 6) yang membolehkan bertayamum. Abu Bakr
berkata: “Sesungguhnya engkau membawa berkah.”
Keterangan: a) hadits al-Bukhari
dari riwayat ‘Amr bin al-Harits dengan jelas menyatakan bahwa ayat tayamum yang
diriwayatkan dalam berbagai hadits ialah ayat al-Maa-idah (al-Maa-idah: 6).
Banyak riwayat lagi yang mengemukakan ayat tayamum tanpa menyebutkan sumber
surahnya. Menurut Ibnu ‘Abdilbarr, riwayat seperti itu mu’dlilah
(membingungkan) karena tidak jelas ayat mana dari kedua ayat tersebut.
(an-Nisaa’: 43 atau al-Maa-idah: 6) yang dimaksud oleh ‘Aisyah. Ibnu ‘Abdilbarr
tidak mendapatkan dalil yang memperkuat hadits di atas.
Menurut Ibnu Baththal, riwayat tersebut berkenaan dengan ayat dalam surah
an-Nisaa’. Dengan alasan bahwa ayat al-Maa-idah (al-Maa-idah: 6) diberi nama
ayat wudlu, sedangkan ayat an-Nisaa’ (an-Nisaa’: 43) tidak disebut ayat wudlu,
jadi ayat ini bisa ditujukan khusus untuk tayamum.
Menurut al-Wahidi, Hadits al-Bukhari tersebut juga merupakan dalil asbabun
nuzul ayat an-Nisaa’ (an-Nisaa’: 43), dan tiada syak lagi dianggap lebih berat
benarnya oleh al-Bukhari sebagai asbabun nuzul ayat al-Maa-idah (al-Maa-idah: 6).
Inilah jalan keluar yang dikemukakan oleh al-Wahidi dalam menetapkan asbabun
nuzul ayat tersebut.
b) Hadits al-Bukhari ini menunjukkan bahwa wudlu telah diwajibkan kepada umat
Islam sebelum turun ayat ini (al-Maa-idah: 6). Oleh karena itu mereka merasa
keberatan untuk berhenti di tempat yang tidak ada airnya, sehingga Abu Bakr
mengatakan kepada ‘Aisyah bahwa dia membawa berkah (tegasnya jadi sebab
dibolehkannya tayamum).
Menurut Ibnu ‘Adilbarr, ahli sejarah peperangan telah maklum bahwa sesungguhnya
Rasulullah saw. selalu berwudlu untuk shalat (sejak mulai shalat difardlukan),
dan tidak ada yang membantahnya kecuali orang bodoh atau pembangkang. Adapun
hikmah turun perintah ayat wudlu yang didahului dengan amalnya, ialah supaya
fardlu wudlu diperkuat dengan turunnya ayat.
Menurut pendapat lain, boleh jadi awal ayat itu (al-Maa-idah: 6) diturunkan
lebih dulu berkenaan dengan fardlu wudlu, dan sisanya diturunkan kemudian
berkenaan dengan tayamum di dalam riwayat tersebut di atas.
Menurut as-Suyuthi, yang pertama itu benar, karena fardlu wudlu itu ditetapkan
di Mekah bersamaan dengan fardlu shalat, padahal ayat ini (al-Maa-idah: 6)
adalah Madaniyyah.
iklan adsense disini