-
Dibuat: Rabu, 28 Januari 2015 11:54
-
Ditulis oleh BDK Makassar
Oleh : Azwar, Pelaksana Balai Diklat Keuangan Makassar
Pendahuluan
Tepat pada tanggal 1 Januari 2015 yang
lalu bangsa-bangsa di kawasan Asia Tenggara atau lebih dikenal dengan
ASEAN akan memasuki era baru dalam hubungan integrasi perekonomian dan
perdagangan dalam bentuk Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Siap atau tidak
siap semua negara di kawasan ASEAN sudah harus meleburkan batas
territorial negaranya dalam satu pasar bebas yang diperkirakan akan
menjadi tulang punggung perekonomian di kawasan Asia setelah China.
Menghadapi MEA, di satu sisi masyarakat
ASEAN seharusnya bergembira. Betapa tidak, MEA diharapkan dapat
menciptakan komunitas regional yang diproyeksikan dapat menjaga
stabilitas politik dan keamanan regional ASEAN, meningkatkan daya saing
kawasan secara keseluruhan di pasar dunia, mendorong pertumbuhan ekonomi
kawasan, mengurangi kemiskinan dan meningkatkan standard hidup penduduk
negara anggota ASEAN.
Namun di sisi lain, kita juga harus
mengakui bahwa MEA dapat menjadi salah satu jalan berkembangnya budaya
homo economi lupus, di mana yang kuat memangsa yang lemah. Bayangkan,
negara ASEAN adalah negara yang majemuk dari segi kemajuannya. Data
perekonomian negara-negara ASEAN tahun 2010[1] yang diukur dari besarnya
Gross Domestic Product (GDP) perkapita menunjukkan kesenjanagan (gap)
yang begitu besar antara the highest dan the lowest. Singapura sebagai
negara maju di kawasan ASEAN memiliki pendapatan perkapita sebesar US$
53.180. Sedangkan Myanmar sebagai juru kunci hanya memiliki pendpatan
perkapita sebesar US$ 468,6. Pendapatan penduduk Myanmar tidak mencapai
1% pendapatan penduduk Singapura. Dengan kondisi seperti ini, akankah
negara seperti Myanmar tersebut hanya akan menjadi bulan-bulanan
Singapura dalam pentas masyarakat ekonomi ASEAN? Lalu bagaimana dengan
negeri tercinta, Indonesa? GDP Indonesia mencapai US$3.010,1 di tahun
2010 dan US$3.542,9 di tahun 2011. Angka hanya 5,66 % dari GDP
Singapura. Namun perlu juga diingat bahwa di ASEAN Indonesia menyumbang
40% pasar bagi barang dan jasa yang diperdagangkan.
Indonesia sebagai salah satu bagian
dalam integrasi MEA tentu harus bersiap menghadapi era bebas tanpa
batas ala MEA ini. Perekonomian Indonesia secara nasional diharapkan
dapat terus tumbuh dengan baik untuk menunjang persaingan
(competitiveness) di kawasan ASEAN. Industri ekonomi dan perbankan
syariah sebagai bagian struktur perekonomian bangsa Indonesia juga tidak
lepas dari tuntutan. Namun, realita yang ada adalah bahwa sebagian
pihak masih mengkhawatirkan hadirnya MEA sebagai sebuah ancaman karena
pasar potensial domestik akan diambil oleh pesaing dari negara lain.
Padahal, Kekhawatiran tersebut sesungguhnya tidak beralasan jika memang
kita mampu menunjukkan daya saing (competitiveness) yang tinggi. Sebagai
negara dengan penduduk muslim terbesar, sudah selayaknya Indonesia
menjadi pelopor dan kiblat pengembangan industri dan keuangan syariah di
ASEAN bahkan dunia. Hal ini bukan merupakan ‘impian yang mustahil’
karena potensi Indonesia untuk menjadi global player keuangan syariah
sangatlah besar. Sehingga Indonesia melalui industri keuangan dan
perbankan syariahnya akan mampu bersaing dalam kancah MEA. Meskipun
tentu saja diakui bahwa di balik peluang dan kondisi yang dapat
mendorong hal ini, juga terdapat ancaman-ancaman yang justru dapat
menghambat perkembangan dan penguatan industri keuangan dan perbankan
syariah sebagai salah satu pilar penyokong perekonomian bangsa
Indonesia.
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)
MEA merupakan sebuah kesepakatan di
antara negara-negara ASEAN dalam rangka penguatan di berbagai sektor,
terutama sebagai bentuk pertahanan dari goncangan global. Implementasi
kebijakan ini mirip dengan Free Trade Area (FTA) yang akan yang
dilaksanakan pada tahun 2020 nanti, namun dalam cakupan yang lebih kecil
yaitu ASEAN. Kebijakan ini telah direncanakan jauh hari sebelumnya,
namun karena kebutuhan yang mendesak khususnya dalam hal kerja sama
bilateral dan penguatan negara-negara ASEAN dari serangan produk luar
negeri maka diajukanlah implementasi MEA paling lambat tahun 2015.
Dalam integrasi MEA, terdapat empat hal
yang akan menjadi fokus MEA pada tahun 2015 yang dapat dijadikan sebagai
momentum yang baik bagi bagsa-bangsa di ASEAN. Pertama, negara-negara
di kawasan ASEAN ini akan dijadikan sebagai sebuah wilayah kesatuan
pasar dan basis produksi. Dengan terciptanya kesatuan pasar dan basis
produksi maka arus barang, jasa, investasi, modal dalam jumlah yang
besar, dan skilled labour menjadi tidak ada hambatan dari satu negara ke
negara lainnya di kawasan ASEAN.
Kedua, MEA akan dibentuk sebagai kawasan
ekonomi dengan tingkat kompetisi yang tinggi, yang memerlukan suatu
kebijakan yang meliputi competition policy, consumer protection,
Intellectual Property Rights (IPR), taxation dan e-commerce. Dengan
demikian, dapat tercipta iklim persaingan yang adil; terdapat
perlindungan berupa sistem jaringan dari agen-agen perlindungan
konsumen; mencegah terjadinya pelanggaran hak cipta; menciptakan
jaringan transportasi yang efisien, aman, dan terintegrasi;
menghilangkan sistem double taxation dan meningkatkan perdagangan dengan
media elektronik berbasis online.
Ketiga, MEA pun akan dijadikan sebagai
kawasan yang memiliki perkembangan ekonomi yang merata, dengan
memprioritaskan pada Usaha Kecil Menengah (UKM). Kemampuan daya saing
dan dinamisme UKM akan ditingkatkan dengan memfasilitasi akses mereka
terhadap informasi terkini, kondisi pasar, pengembangan sumber daya
manusia dalam hal peningkatan kemampuan, keuangan, serta teknologi.
Keempat, MEA akan diintegrasikan secara
penuh terhadap perekonomian global, dengan membangun sebuah sistem untuk
meningkatkan koordinasi terhadap negara-negara anggota. Selain itu,
akan ditingkatkan partisipasi negara-negara di kawasan ASEAN pada
jaringan pasokan global melalui pengembangkan paket bantuan teknis
kepada negara- negara anggota ASEAN yang kurang berkembang. Hal tersebut
dilakukan untuk meningkatkan kemampuan industri dan produktivitas
sehingga tidak hanya terjadi peningkatkan partisipasi mereka pada skala
regional namun juga memunculkan inisiatif untuk terintegrasi secara
global.
Berdasarkan ASEAN Economic Blueprint,
MEA menjadi sangat dibutuhkan untuk memperkecil kesenjangan antara
negara-negara ASEAN dalam hal pertumbuhan perekonomian dengan
meningkatkan ketergantungan anggota-anggota di dalamnya. MEA dapat
mengembangkan konsep meta-nasional dalam rantai suplai makanan, dan
menghasilkan blok perdagangan tunggal yang dapat menangani dan
bernegosiasi dengan eksportir dan importir non-ASEAN.
MEA merupakan
terobosan baru yang disetujui oleh para kepala negara di ASEAN. Hal ini
tentu saja dipilih sebagai pembangkit ekonomi yang pernah ambruk pada
tahun 1997 dan pernah juga krisis pada tahun 2009. Tentu kita tak ingin
sekadar bangkit saja, tetapi juga ingin mempercepat pertumbuhan
perekonomian.
Kita tahu pasar terbesar ada di Asia. Selain sebagai
pasar, Asia juga telah bangkit untuk mengekspansi negara-negara besar,
seperti produk-produk buatan China dan India yang telah mengekspansi
negara-negara besar di dunia. Oleh karena itu, dalam rangka percepatan
pembaharuan ekonomi, kebijakan MEA menjadi sangat dibutuhkan agar ASEAN
tak hanya sebagai loser dalam persaingan global.
Peluang Industri Perbankan Syariah Indonesia Menghadapi MEA
Sebagai negara dengan penduduk muslim
terbesar[2], sudah selayaknya Indonesia menjadi pelopor dan kiblat
pengembangan industri keuangan syariah di dunia. Hal ini bukan merupakan
‘impian yang mustahil’ karena potensi dan peluang Indonesia untuk
menjadi global player keuangan syariah sangat besar khususnya dalam
mengahdapi MEA, diantaranya : (i) jumlah penduduk muslim yang besar
menjadi potensi nasabah industri keuangan syariah; (ii) prospek ekonomi
yang cerah, tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi
(kisaran 6,0%-6,5%) yang ditopang oleh fundamental ekonomi yang solid;
(iii) peningkatan sovereign credit rating Indonesia menjadi investment
grade yang akan meningkatkan minat investor untuk berinvestasi di sektor
keuangan domestik, termasuk industri keuangan syariah; dan (iv)
memiliki sumber daya alam yang melimpah yang dapat dijadikan sebagai
underlying transaksi industri keuangan syariah.
Pengembangan keuangan syariah di
Indonesia yang lebih bersifat market driven dan dorongan bottom up dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga lebih bertumpu pada sektor riil
juga menjadi keunggulan tersendiri. Berbeda dengan perkembangan keuangan
syariah di Iran, Arab Saudi, dan Malaysia sebagai salah Negara di
kawasan ASEAN, di mana perkembangan keuangan syariahnya lebih bertumpu
pada sektor keuangan, bukan sektor riil, dan peranan pemerintah sangat
dominan. Selain dalam bentuk dukungan regulasi, penempatan dana
pemerintah dan perusahaan milik negara pada lembaga keuangan syariah
membuat total asetnya meningkat signifikan, terlebih ketika
negara-negara tersebut menikmati windfall profit dari kenaikan harga
minyak dan komoditas. Keunggulan struktur pengembangan keuangan syariah
di Indonesia lainnya adalah regulatory regime yang dinilai lebih baik
dibanding dengan negara lain. Di Indonesia kewenangan mengeluarkan fatwa
keuangan syariah bersifat terpusat oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) –
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merupakan institusi yang independen.
Sementara di negara lain, fatwa dapat dikeluarkan oleh perorangan ulama
sehingga peluang terjadinya perbedaan sangat besar. Di Malaysia,
struktur organisasi lembaga fatwa ini berada di bawah Bank Negara
Malaysia (BNM), tidak berdiri sendiri secara independen.
Halim (2012) dalam sebuah kajiannya
menyatakan bahwa peningkatan peranan industri keuangan syariah Indonesia
menuju global player juga terlihat dari meningkatnya ranking total aset
keuangan syariah dari urutan ke-17 pada tahun 2009 menjadi urutan ke-13
pada tahun 2010 dengan nilai aset sebesar US$7,2 miliar (Tabel 1).
Dengan melihat perkembangan pesat keuangan syariah, terutama perbankan
syariah dan penerbitan sukuk, total aset keuangan syariah Indonesia pada
tahun 2011 diyakini telah melebihi US$20 miliar sehingga rankingnya
akan meningkat signifikan.
Hal yang paling pokok adalah bahwa
industri perbankan sayraiah memiliki peluang yang besar karena terbukti
tahan terhadap krisis. Bahkan setelah kegagalan sistem ekonomi
kapitalis, sistem syariah dipandang sebagai sebuah alternatif dan solusi
untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi dunia. Menjamurnya
lembaga-lembaga keuangan syariah merupakan sebuah bukti bahwa sistem ini
memiliki ketahanan terhadap krisis. Hal ini pun telah dibuktikan ketika
Krisis Ekonomi 1988, di saat bank konvensional mengalami negative
spread, namun bank Syariah tampil sebagai perbankan yang sehat dan tahan
terhadap krisis dan memperlihatkan eksistensinya hingga sekarang. Bank
Indonesia pun memberikan perhatian yang serius dalam mendorong
perkembangan perbankan syariah, dikarenakan keyakinan bahwa perbankan
syariah akan membawa ‘maslahat’ bagi peningkatan ekonomi dan pemerataan
kesejahteraan masyarakat. Pertama, bank syariah memberikan dampak yang
lebih nyata dalam mendorong pertumbuhan ekonomi karena lebih dekat
dengan sektor riil sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Kedua,
tidak terdapat produk-produk yang bersifat spekulatif (gharar) sehingga
mempunyai daya tahan yang kuat dan teruji ketangguhannya dari krisis
keuangan global. Ketiga, sistem bagi hasil (profit-loss sharing) yang
menjadi ruh perbankan syariah yang akan membawa manfaat yang lebih adil
bagi semua pihak.
Tantangan MEA Bagi Industri Perbankan Syariah Indonesia
Industri perbankan syariah terbesar di
Indonesia saat ini baru mampu membukukan aset sekitar US$5,4 miliar
sehingga belum ada yang masuk ke dalam jajaran 25 bank syariah dengan
aset terbesar di dunia[3]. Sementara tiga bank syariah Malaysia mampu
masuk ke dalam daftar tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa skala ekonomi
bank syariah Indonesia masih kalah dengan bank syariah Malaysia yang
akan menjadi kompetitor utama. Belum tercapainya skala ekonomi tersebut
membuat operasional bank syariah di Indonesia kalah efisien, terlebih
sebagian besar bank syariah di Indonesia masih dalam tahap ekspansi yang
membutuhkan biaya investasi infrastruktur yang cukup signifikan.
Halim (2012) dalam sebuah penelitiannya,
dengan menggunakan indikator rasio biaya operasional terhadap
pendapatan operasional (BOPO) pada tiga bank sampel untuk masing-masing
kategori terlihat bahwa bank syariah masih kalah efisien dibanding
dengan bank konvensional (Lihat Tabel 1). Namun dari sisi Net
Operational Margin (NOM), beberapa bank syariah lebih unggul. Dari sisi
profitabilitas, Return On Asset (ROA) bank syariah lebih kecil dari bank
konvensional, namun dari sisi Return On Equity (ROE) lebih besar. Hal
ini menunjukkan bahwa kondisi permodalan bank syariah relatif lebih
kecil dibanding bank konvensional.
Tabel 1. Perbandingan Indikator Bank Syariah dan Konvensional di Indonesia
Kemudian apabila tiga sampel bank
syariah tersebut dibandingkan dengan bank syariah di Malaysia dan
Kawasan Timur Tengah, terlihat bahwa indikator BOPO bank syariah di
Indonesia juga lebih tinggi atau masih kalah efisien. Hal ini juga
terlihat dari indikator Net Operational Margin (NOM) bank syariah di
Indonesia yang masih sangat bervariasi dan secara rata-rata lebih tinggi
dari bank syariah di Malaysia dan Kawasan Timur Tengah. Namun demikian,
bank syariah di Indonesia lebih profitable dibanding dengan bank
syariah di Malaysia maupun Kawasan Timur Tengah, terlihat dari tingginya
indikator ROA maupun ROE (Lihat Tabel 2). Tak heran jika banyak
investor asing yang tertarik untuk mendirikan atau membeli bank syariah
di Indonesia. Profitabilitas yang tinggi ini tentunya akan mempercepat
akselerasi pertumbuhan aset bank syariah di Indonesia sehingga dapat
mencapai skala ekonomi yang efisien.
Tabel 2. Perbandingan Indikator Perbankan Syariah Antar Negara
Tantangan lainnya dalam menghadapi MEA
2015 adalah diferensiasi produk keuangan syariah di Indonesia yang
dinilai masih kurang. Hal ini disebabkan oleh faktor bisnis model
industri keuangan syariah di Indonesia, khususnya perbankan syariah,
yang lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan di sektor riil dan sangat
menjaga maqasid syariah. Hal ini berbeda dengan negara lain yang peranan
produk-produk di sektor keuangan (pasar uang dan pasar modal) lebih
dominan.
Secara esensi, struktur pengembangan keuangan syariah di
Indonesia akan lebih kuat dibanding dengan negara lain. Kekurangan
instrumen di pasar keuangan syariah tersebut berdampak pada pengelolaan
likuiditas perbankan syariah. Pengelolaan likuiditas perbankan syariah
masih mengandalkan mekanisme Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS) dengan
menggunakan instrumen Sertifikat Investasi Mudharabah (SIMA), dan
melakukan penempatan di instrumen yang diterbitkan oleh Bank Indonesia,
yakni FASBI Syariah dan SBI Syariah. Masih sedikit sekali portofolio
penempatan pada instrumen sukuk. Tingginya porsi pengelolaan likuiditas
perbankan syariah pada instrument bank sentral menyebabkan pengembangan
pasar keuangan syariah menjadi terkendala dan mekanisme self adjustment
menjadi kurang optimal.
Penerbitan Surat Perbendaharaan Negara
Syariah (SPNS) dan mekanisme transaksi ‘komoditi murabahah’ dapat
menjadi suatu terobosan instrumen yang dapat digunakan oleh perbankan
syariah dalam melakukan pengelolaan likuiditasnya. Ketersediaan
instrumen pengelolaan likuiditas menjadi sangat penting dalam mencegah
terjadinya krisis yang berkelanjutan pada industri keuangan syariah.
Para pakar yang tergabung dalam IAEI dapat membantu industri dalam
melakukan inovasi produk keuangan syariah, khususnya untuk perbankan
syariah. Agar jangan sampai kekurangan instrumen keuangan syariah
tersebut diisi oleh instrumen dari negara lain yang belum tentu sesuai
dengan kondisi pasar keuangan dan perbankan syariah domestik.
Kendala lainnya yang perlu mendapat
perhatian serius adalah upaya untuk memenuhi gap Sumber Daya Insani
(SDI) dari tenaga kerja domestik agar tidak diisi oleh tenaga kerja
asing. Perlu disaari bahwa salah satu butir kesepakatan dalam MEA 2015
adalah freedom of movement for skilled and talented labours. Keberadaan
skilled labours adalah faktor penting dalam menghadapi MEA 2015. Bila
boleh dikatakan, barang, jasa, investasi, dan modal semua dikendalikan
oleh skilled labours. Karena itu tenaga kerja (SDM) yang mempuni mutlak
dibutuhkan untuk “memenangkan” tujuan Indonesia dalam MEA. Jika kita
jadikan GDP sebagai tolak ukur atas kualitas skilled labours Indonesia
dalam mengendalikan barang, jasa, dan modal maka dapat kita katakan
bahwa kualitas skilled labours Indonesia masih jauh di bawah tiga negara
penghuni kasta teratas yaitu Singapura, Malaysia dan Thailand. Inilah
tantagan yang kita hadapi saat ini. Di mana keberadaan skilled labours
yang berbasiskan syariah alias para sarjana ekonomi islam? Seberapa
besar kontribusinya untuk perekonomian dan industri perbankan syariah
Indonesia saat ini? Para sarjana ekonomi islam yang merupakan mesin
penggerak ekonomi yang berbasiskan syariah itu masih tergolong gagal
dalam mengambil hati pasar domestik. Rakyat Indonesia saat ini masih
cenderung menyukai transaksi secara konvensional yang cenderung liberal
dan kapitalis. Para pelaku ekonomi di tanah air ini masih menjadikan
transaksi syariah sebagai pilihan kedua atau bahkan lebih rendah
daripada itu. Inilah bukti bahwa peran dari para sarjana ekonomi islam
terhadap perekonomian Indonesia masih terbilang belum optimal.
Secara logika, untuk mengurus dan
merebut pasar domestik saja para praktisi ekonomi islam Indonesia masih
‘gelabakan’, apalagi jika harus menargetkan dan merebut pasar ASEAN yang
mana tambahan target pasarnya adalah mayoritas dari kalangan non
muslim. Ditambah lagi dengan kompetitor dari negara lain yang memiliki
persiapan, strategi, dan modal yang lebih mumpuni dibandingkan para
paraktisi ekonomi islam di Indonesia. Sebagai contoh negara Malaysia
yang mendapatkan sokongan penuh dari pemerintahannya terhadap
pengembangan perekonomian secara syariah. Bagaimana dengan Indonesia?
Apakah dengan keadaan seperti ini MEA akan menjadi berkah bagi ekonomi
Indonesia terutama melalui jalur syariah?Ataukah tunas perkembangan
ekonomi syariah di tanah air akan sirna olehnya? Sekali lagi, inilah
tantangan kontemporer bagi perkembangan industri keuangan dan perbankan
syariah.
Di antara langkah yang dapat diambil
adalah pelaku industri perbankan syariah dapat bekerjasama mendirikan
‘pusat pendidikan dan pelatihan perbankan syariah’ untuk mencetak tenaga
ahli guna memenuhi gap tersebut daripada saling bersaing dan melakukan
‘pembajakan pegawai’. Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) tentunya dapat
berperan dalam menyediakan tenaga ahli untuk mengajar di pusat
pendidikan dan pelatihan tersebut. Agar lebih terarah dan tepat guna,
IAEI juga dapat membantu melakukan penelitian untuk mengidentifikasi
jenis-jenis keahlian yang dibutuhkan oleh industri perbankan syariah
sehingga strategi ‘link and match’ dapat dijalankan.
Penutup
Berbagai peluang dan tantangan di atas menunjukkan bahwa upaya keras dari seluruh stakeholders
industri keuangan syariah sangat dibutuhkan. Perlu keterpaduan langkah
dari para praktisi, akademisi maupun asosiasi agar pengembangan menjadi
lebih efektif dan efisien karena dapat menghindari terjadinya redundancy
dan suaranya menjadi lebih di dengar. sehingga industri keuangan
syariah nasional semakin berkualitas, berkembang secara berkelanjutan
dan mampu bersaing dalam kancah persaingan global, khususnya dalam
menyambut MEA 2015.
Daftar Pustaka
Alamsyah, Halim. 2012. Perkembangan dan
Prospek Perbankan Syariah Indonesia: Tantangan Dalam Menyongsong MEA
2015. Ceramah Ilmiah Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Milad ke-8 IAEI,
13 April 2012
Plummer, M, G., &Yue, C, S. 2009.
Realizing the ASEAN Economic Community: A Comprehensive Assessment.
Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Santoso, W. et.al.
2008. Outlook Ekonomi Indonesia 2008-2012: Integrasi ekonomi ASEAN dan
Prospek Perekonomian Nasional. Jakarta: Biro Riset Ekonomi Direktorat
Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter.
Footnote :
[2]Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 mencapai 237,6 juta jiwa
[3]MarisStrategies & the Banker (2010) dalam Halim (2012)
this article i taked in the address : http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/150-artikel-keuangan-umum/20434-industri-perbankan-syariah-menghadapi-masyarakat-ekonomi-asean-mea-2015-peluang-dan-tantangan-kontemporer
iklan adsense disini